Guru besar investasi dan keuangan Roy Sembel 10 tahun lalu pernah menulis kalau membeli saham jigo itu sama dengan membeli opsi. Akibat krisis moneter 1998, banyak saham di BEJ saat itu diperdagangkan dengan harga jigo alias Rp25.
Saat itu utang dari banyak emiten terutama di sektor perbankan melampaui asetnya sehingga ekuitas menjadi negatif. Ini berarti pemegang saham tak akan kebagian apa-apa bila perusahaan dilikuidasi. Dilihat dari nilai bukunya, harga saham perusahaan seperti ini mestinya nol.
Jika kemudian saham emiten tersebut masih dihargai positif, ada sesuatu yang diharapkan investor yang tidak dapat dijelaskan laporan keuangan. Dalam terminologi finansial, dikatakan kalau harga Rp25 per saham yang dibayarkan investor itu sebenarnya bukan untuk klaim atas aset perusahaan waktu itu tetapi untuk opsi, tepatnya opsi call.
Maksudnya adalah ekuitas perusahaan akan menjadi positif ketika restrukturisasi utang berlangsung mulus dan emiten dapat lolos dari krisis sehingga nilai buku ekuitas menjadi positif. Jika demikian, harga saham pun tentunya akan mengikuti. Apa itu opsi call?
Opsi call adalah kontrak yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk membeli aset tertentu pada harga tertentu (strike/exercise price) selama jangka waktu tertentu. Ada dua jenis opsi yaitu opsi Amerika dengan hak yang dapat digunakan setiap saat sebelum jatuh tempo dan opsi Eropa yang haknya hanya dapat digunakan saat jatuh tempo.
Sebagai ilustrasi, misalkan opsi call saham TLKM adalah opsi Amerika dan ditawarkan pada harga Rp500 dengan harga patokan (strike/exercise) Rp8.000 per saham untuk jangka waktu 6 bulan. Kalau Anda membeli satu lot opsi ini, maka dalam 6 bulan ke depan Anda punya hak membeli satu lot saham TLKM dari penjual opsi pada harga Rp8.000 per saham atau Rp4 juta per lot.
Jika dalam 6 bulan, harga TLKM ternyata selalu di bawah Rp8.000, hak opsi tidak akan pernah digunakan dan investor akan rugi Rp250.000. Tetapi jika harga TLKM naik menjadi Rp10.000, opsi akan digunakan dengan keuntungan kotor investor Rp2.000 per saham atau Rp1 juta (bersihnya Rp750 ribu) per lot. Jika harga TLKM naik lebih tinggi lagi, keuntungan bersih pemegang opsi call tentunya akan semakin besar.
Terulang kembali
Kondisi yang hampir sama seperti yang ditulis dosen kebanggaan saya di program doktoral itu kini terulang kembali di bursa kita. Untuk Anda ketahui, 41 saham di BEI (10% dari jumlah saham tercatat) pada akhir Oktober 2008 lalu hanya dihargai gocap atau Rp50. Beberapa dari saham itu bahkan dapat diperoleh di bawah gocap di pasar negosiasi. Sekitar belasan saham lagi dihargai sedikit di atas harga minimum saham di pasar reguler itu dan sekitar 20% atau total 85 saham di BEI saat ini berharga di bawah Rp100. Sungguh, ada gocap saham berharga gocap di BEI.
Yang menarik dari gocap saham ini adalah sebagian merupakan saham-saham LQ-45 seperti KIJA, DEWA, dan TRUB. Dua saham terakhir bahkan sudah mengalami penurunan harga sangat drastis yaitu lebih dari 90% dari harga tertingginya setahun terakhir. DEWA yang pernah berharga Rp780, kini hanya dihargai Rp51, sedangkan TRUB yang dulu berjaya di harga Rp1.560 saat ini bertengger di Rp56.
Ini berarti tidak semua perusahaan yang sahamnya berharga gocap itu adalah perusahaan jelek atau perusahaan tidak dikenal. Untuk investor jangka panjang, inilah saatnya membeli saham dengan harga opsi. Bedanya saham gocap itu dengan opsi adalah jika opsi mempunyai jangka waktu tertentu, saham berapa pun murah harganya tidak mengenal tanggal jatuh tempo.
Jika memang saham berharga murah ini tidak ada yang masuk kategori perusahaan bagus, saya pikir sebagian masih dapat masuk dalam kriteria saham bagus yaitu yang harganya sangat tertekan dan dapat memberikan return tinggi pada masa depan.
Idealnya memang kita membeli saham bagus dari perusahaan bagus dan terus memegangnya selama harganya masih bagus. Jika tidak ada saham seperti itu, pilihan terbaik kedua adalah saham bagus dari perusahaan jelek.
Beberapa saham berharga gocap ini tentunya ada yang memenuhi kelompok ini. Dari tulisan saya terdahulu, Anda tentunya sudah memahami perbedaan antara saham bagus dan perusahaan bagus.
Dengan diskon yang sangat besar ini, jika Anda membeli saham berharga gocap itu, kerugian maksimal Anda adalah gocap itu per saham. Untuk beberapa saham, jika Anda pintar dan beruntung, potensi return-nya sangatlah besar. Para investor yang membeli saham emiten yang lolos krisis 1998 pada harga opsi 10 tahun lalu dan menahannya hingga saat ini tentunya sudah kaya raya.
Khusus untuk saham sektor perbankan, pada akhir 1998 lalu saya mencatat ada 32 dan semuanya hanya dihargai puluhan hingga ratusan rupiah. Tidak ada yang berharga Rp1.000 atau lebih.
Walaupun saham-saham perbankan saat itu berharga murah, jika tidak hati-hati memilih, investor akan menelan kerugian besar. Hanya sekitar 21 dari 32 saham perbankan itu yang bertahan setahun kemudian dan sekitar belasan saja yang masih tercatat saat ini. Hampir sama dengan saham jigo pada 1998, saham gocap pun tidak otomatis menjadi saham bagus untuk dibeli. Sekitar 20 saham dari 41 saham berharga persis gocap itu tidak diperdagangkan sama sekali.
Dilihat dari labanya, hanya sekitar sepertiga dari lima puluhan saham berharga lebih murah daripada permen ini yang mengalami kerugian. Sebagian besar memperoleh laba. Di antara perusahaan yang untung, sekitar sepertiga mempunyai PER di bawah lima, dan sekitar enam emiten ternyata mempunyai PER di bawah tiga.
Jika Anda setuju dengan artikel saya beberapa waktu lalu kalau PER itu adalah payback period, periode balik modal tiga tahun (PER = 3) dari investasi saham itu sangat cepat.
Ayo, kapan lagi Anda bisa membeli saham LQ-45 dengan PER rendah pada harga opsinya?
Budi Frensidy
Staf pengajar FEUI dan penulis buku Matematika Keuangan